Kamis, 27 November 2014

Peranan Guru dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia dikelas Rendah



            Guru merupakan kunci sentral untuk keberhasilan suatu pelajaran. Terlebih lagi apabila lingkungan tempat pembelajaran kurang menguntungkan, peran guru sangat berarti bagu siswa  kaena penentu keberhasilan suatu pengajaran sangat dipengaruhi oleh lingkungan, orang tua dan sekolah. Kedudukan guru sebagai komponen pengajaran di samping siswa, kurikulum, metode, alat pelajaran, dan alat evaluasi merupakan penentu keberhasilan. Demikian guru berperan sebagai pembimbing, model, inovator, administrator dan evaluator, terlebih lagi dalam pembelajaran bahasa indonesia.
*        Guru Bahasa Indonesia sebagai Pembimbing
       Hal yang perlu diperhatikan dalam membimbing kelas I dan II antara lain sebagai berikut:
a.      Tingkat Kesiapan Anak
Kesiapan anak yang berasal dari TK tentunya akan lebih matang bila dibandingkan dengan yang bukan dari TK. Biasanya anak dari TK memiliki dasar kedisiplinan dan dasar pembiasaan diri yang lebih, meskipun tidak mutlak. Hal ini dapatdiperkuat dengan GBPP dan Kurukulum Pendidikan TK yang bertujuan untuk membentu kesiapan dalam menghadapi pendidikan selanjutnya. Seharusnya bagi siswa yang memiliki kesiapan plus mendapat tambahan pengayaan, sedang bagi yang kurang diadakan bimbingan tambahan.
b.      Tingkat Pengembangan Anak
Anak usia dini kecenderungan ingin tahu sangat besar dengan apa yng dilihat, serta pada diri anak kelas I dan II memiliki potensi yang besar untuk mengembangkan bakat, minat dan kemampuannya. Oleh karena itu dorongan dan bimbingan guru sangat diperlukan untuk memupuk dan membangkitkan bakat, minat dan kemampuan anak tersebut. Guru harus berperan aktif dan dapat memanfaatkan saat-saat yang tepat untuk mengoptimalkan perkembangan anak didiknya.
c.       Bahasa Ibu
Bahasa Ibu anak kelas I dan II, seharusnya menjadi sumber belajar yang akan digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan bahan pelajaran, metode dan teknik pembelajaran bahasa indonesia sebagai bahasa kedua.

*        Guru sebagai Model
       Guru sebagai cermin bagi anak didik, terutama baik bagi anak usia dini, yang biasanya dorongan untuk meniru sangat menonjol. Semua tingkah laku guru akan berpengaruh bagi anak didiknya, begitu juga tutur kata guru, secara sadar atau tidak akan merupakan model bagi anak didik. Oleh karena itu, guru kelas I dan II hendaknya santun dalam berbicara, baik tutur katanya, serta menggunakan bahasa yang baik dan benar.
*        Guru sebagai Administrator
       Guru sebagai pengelola segala sesuatu yang ada hubungannya dengan pengajaran, termasuk pengadministrasiannya, misal : mencatat jumlah siswa, pekerjaan orang tua, bagaimana prestasi anak tersebut, kelemahan dan kekurangan masing-masing siswa, termasuk pengembangan bahasanya.
*        Guru Bahasa sebagai Inovator
       Guru bahasa tentunya menyadari, bahwa bahasa yang digunakan dan diajarkan bersifat hidup. Dengan dengan demikian bahasa senantiasa mengalami perkembangan, misalnya adanya nsur serapan asing dan daerah yang merupakan wujud berkembangnya bahasa tersebut. Di satu sisi perkembangan tersebut berakibat positif terhadap perbendaharaan kata, di sisi lain menuntut kita lebih kreatif mendorong aktivitas anak didik untuk terampil menyaring dan memanfaatkan perkembangan tersebut secara tepat.
       Untuk mewujudkan pemikiran di atas, guru harus bersifat terbuka menerima bahkan mengharap saran-saran, aktif dalam kegiatan yang bersifat ajang bertukar pikiran kebahasaan dan tertanam rasa bangga dan hormat terhadap perkembangan dan kedudukan Bahasa Indonesia serta mengimplementasikan secara sungguh-sungguh  dalam pembelajaran. Guru harus menyadari peran bahasa indonesia sebagai sarana mempelajari mata pelajaran lain dan sebagai salah satu keterampilan hidup bagi para siswa.
*        Guru sebagai Evaluator
       Evaluator berarti orang yang mengadakan kegiatan penilaian, sedangkan evaluasi merupakan proses pelaksanaan penilaian tersebut. Aktivitas evaluasi oleh guru pada umumnya terbagi menjadi tiga kategori, yaitu:
1.      Evaluasi awal
2.      Evaluasi tengah
3.      Evaluasi akhir

       Pertama, evaluasi awal yang sering kita sebut analisis kondisi awal, atau evaluasi perencanaan.
       Kedua, evaluasi tengah atau evaluasi proses. Kegiatan mengadakan penilaian ini sarana dan prasarana kegiatan siswa telah searah dengan tujuan pembelajaran.
       Ketiga, adalah evaluasi akhir atau disebut evaluasi hasil, merupakan kegiatan penilaian yang dilakukan oleh guru dengan meggunakan alat evalusi berupa tes, dengan tujuan untuk melihat tingkat keberhasilan belajar siswa terhadap materi yang telah disajikan.
       Ketiga kegiatan evaluasi tersebut berlangsung melingkar, secara terus menerus, artinya hasil evaluasi yang lalu akan menjadi pedoman pembelajaran yang akan datang, begitu seterusnya.

Makalah Pendidikan Sosial Budaya



PENDIDIKAN SOSIAL BUDAYA
MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Pendidikan Sosial Budaya
Dosen: Dra. Ita Rustiati. Ridwan, M. Pd

Disusun oleh:
1.      Yulinarti Prihatiningrum (1305924)
2.      Noer Faizah                   (1306562)
3.      Lela Fitriani                   (1305870)
4.      Rosmawati                      (1306336)
5.      Hikmah Wibawa             (1306869)

Kelas: 2D PGSD/ 3


http://kimia.upi.edu/staf/nurul/web2012/0902129/gambar/LOGO%20UPI%20ASLI%20copy.jpg
 







UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
KAMPUS SERANG

KATA PENGANTAR
Puji syukur hanyalah milik Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga pada kesempatan ini kami dapat menyelesaikan makalah ini. Sholawat serta salam semoga terlimpahkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW, kepada keluarga, sahabat, serta umatnya diakhir zaman dan tak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini. Bahwa kami telah menyelesaikan tugas mata kuliah Pendidikan Sosial Budaya dengan membahas materi “Sistem Sosial Budaya dalam Masyarakat Indonesia”.
Kami menyadari bahwa pengetahuan makalah ini masih jauh dari sempurna, hal ini karena masih terbatasnya pengetahuan, pengalaman maupun kemampuan kami. Untuk itu dengan penuh kerendahan hati kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak, guna membangun kesempurnaan pembuatan makalah ini.
Akhirnya hanya kepada Allah SWT jugalah kami panjatkan do’a semoga makalah ini dapat diterima dan bermanfaat.

                                                                                        Serang, 26 November 2014

                                   
                                                                                                    Kelompok 5




DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI
ii
BAB I PENDAHULUAN
1
            1.1 Latar Belakang 1
            1.2 Rumusan Masalah 2
            1.3 Tujuan 2
BAB II PEMBAHASAN 3
                A. Lingkungan Keluarga 3
            B.  Sistem Kekerabatan dan Garis Keturunan 7
            C. Lingkungan Sekolah 11
BAB III PENUTUP 14
            3.1 Kesimpulan 14
            3.2 Saran 14
DAFTAR PUSTAKA 15










BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
            Konsep sistem sosial adalah alat untuk membantu menjelaskan tentang kelompok-kelompok manusia. Tiap-tiap sistem sosial terdiri atas pola-pola perilaku tertentu yang mempunyai struktur dalam dua arti, yaitu: pertama, interaksi-interaksi sendiri antara orang-orang yang bersifat agak mantap dan tidak cepat berubah, dan kedua, perilaku-perilaku yang mempunyai corak atau bentuk yang ralatif mantap.
            Dalam suatu sistem sosial, paling tidak harus terdapat empat hal, yaitu: (1) dua orang atau lebih, (2) terjadi interaksi antara mereka, (3) bertujuan, dan (4) memeiliki struktur, simbol, dan harapan bersama yang dipedomani. Sistem sosial dapat berfungsi apabila dipenuhi empat persyaratan: (1) adaptasi, (2) mencapai tujuan, (3) intregasi, dan (4) pemilihan pola-pola tersembunyi. Sistem sosial terdiri atas satuan-satuan interaksi sosial yang terbentuk daqri unsur-unsur sosial mencakup: (I) keyakinan (pengetahuan), (2)perasaan (sentimen), (3) tujun, sasaran, dan cita-cita, (4) norma, (5) kedudukan peranan (status), (6) tingkat atau pangkat (rank), (7) kekuasaan atau pengaruh (power),  (8)sanksi, (9) sarana atau fasilitas, (10) tekanan ketegangan (Soelaeman, 2005).
            Manusia lahir ke dunia in yang secara fisik dan sosial sama sekali tidka berdaya. Hanya dengan bantuan orang lain, manusia dapdat hidup di tengah-tengah masyarakat. Proses-proses penyesuaian-penyesuaian manusia terhadap lingkungan dan asimilasi pewarisan budaya disebut dengan proses pendidikan di lingkungan keluarga dan sekitarnya. Banyak agen dalam masyarakat memiliki peran dalam membantu penyesuaian-penyesuaian terhadap pendidikan seseorang.




1.2  Rumusan Masalah
Yang menjadi rumusan masalah makalah ini adalah :
1.      Bagaimana sistem sosial buadaya dalam lingkungan keluarga?
2.      Bagaimana tatakrama dalam keluarga?
3.      Apa faktor keberhasilan dan kegagalan dalam pernikahan?
4.      Bagaimana sistem sosial budaya dalam kekerabatan dan garis keturunan?
5.      Bagaimana pewarisan harta benda, pangkat dan keturunan dalam sistem sosial budaya?
6.      Bagaimana pemilihan tempat tinggal dalam sistem sosial budaya?
7.      Bagaimana sistem sosial budaya dalam lingkungan sekolah?

1.3  Tujuan
Penyusunan makalah ini bertujuan untuk:
1.      Mengetahui sistem sosial buadaya dalam lingkungan keluarga
2.      Mengetahui tatakrama dalam keluarga
3.      Mengetahui faktor keberhasilan dan kegagalan dalam pernikahan
4.      Mengetahui sistem sosial budaya dalam kekerabatan dan garis keturunan
5.      Mengetahui pewarisan harta benda, pangkat dan keturunan dalam sistem sosial budaya
6.      Mengetahui pemilihan tempat tinggal dalam sistem sosial budaya
7.      Mengetahui sistem sosial budaya dalam lingkungan sekolah



     






BAB II
PEMBAHASAN
A.  Lingkungan Keluarga
            Lingkungan keluarga merupakan wahana untuk memantapkan adat istiadat yang ada di lingkungan masyarakat kita yang mencangkup sistem nilai sosial dan budaya, sistem norma dan norma-norma agama. Sebagai mana telah kita pelajari pada Bab I (satu) tentang konsep dasar budaya bahwa fungsi sistem budaya adalah menata dan memantapkan tindakan-tindakan serta tingkah laku manusia.
            Proses pemantapan ini dilakukan melalui pembudayaan atau institutionalization (pelembagaan). Dalam proses pelembagaan ini, seseorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat-adat, sistem norma dan peraturan yang hidup dalam kebudayaannya. Proses ini dimulai sejak kecil, mulai dari lingkungan keluarganya, kemudian dengan lingkungan di luar rumah, mula-mula dengan meniru berbagai macam tindakan. Setelah perasaan dan nilai budaya yang memberikan motivasi akan tindakan meniru itu akan diinternalisasi dalam kepribadiannya, maka tindakan itu menjadi suatu pola yang mantap, dan norma yang mengatur tindakannya dibudadyakan. Tetapi ada juga individu yang dalam pross pembudayaan tersebut yang mengalami deviants, artinya individu yang tidak dapat menyesuaikan dirinya dengan sistem budaya dilingkungan sosial sekitarnya (Soelaeman, 2005).
            Hampir di seluruh dunia, keluarga sering disebut dengan unit dasar, atau kelompok fundamental atau juga karakteristik yang paling penting dari masyarakat. Tetapi untuk pembahasan kita, keluarga didefinisikan sebagai ibu dan ayah serta anak-anak yang hidup bersama (Sweedlun dan Crawford, 1956).
            Sebelum seseorang melangsungkan pernikahan, ada tahap-tahap yang dilalui sebelumnya yaitu perkenalan, pacaran dan pernikahan. Seseorang bisa saja langsung ke tahap meminang calon untuk menuju tahap pernikahan.
            Pernikahan adalah gabungan dari dua orang atau lebih yang berlainan jenis kelamin dengan persetujuan dari masyarakat. Masyarakat menganggap bahwa gabungan laki-laki dan perempuan ini bagian yang penting menuju kesejahteraan, dan ada semua masyarakat peraturan tentang pernikahan ini telah dilakukan. Peraturan-peraturan ini dibuat adalah untuk melindungi tiga fungsi dasar pernikahan dalam masyarakat. Pertama, pernikahan adalah salah satu cara masyarakat untuk mengontrol ekspresi dorongan seks karena dorongan seks begitu kuat sehingga, apabila tidak dibatasi dorongan-dorongan seks tersebut akan menjadi sumber konflik sosial di masyarakat. Kedua, pernikahan menjamin keberlangsungan kelompok masyayrakat melalui reproduksi lewat pernikahan. Ketiga, pernikahan merupakan alat masyarakat untuk memperbaiki tangggung jawab anak-anak terhadap orang-orang yang khusus terutama pada orang tuanya.
            Bentuk-bentuk pernikahan biasanya di klasifikasikan menjadi dua bentuk yang utuama, yaitu monogami (pernikahan dengan satu orang pada waktu yang sama) dan poligami (praktek pernikahan dengan memiliki sejumlah istri atau suami pada waktu yang sama). Sementara praktek pernikahan poligami sebenarnya ada dua, yaitu poligami dan poliandri. Poligami (pernikahan satu laki-laki dengan lebih dari satu klasifikasi wanita pada waktu yang sama). Sementara praktek pernikahan poliandri ( pernikahan satu wanita  dengan lebih dari satu laki-laki pada waktu yang sama).
            Karena hampir semua masyarakat mengharapkan terpenuhinya tiga fungsi dasar fungsi pernikahan, banyak aturan yang mengatur lembaga pernikahan ini. Tetapi pada umumnya peraturan itu adalah meliputi exogami dan endogami. Exogami adalah pernikahan atau pemilihan calon pendamping dari luar kelompok masyarakatnya sendiri. sedangkan Endogami adalah pernikahan atau pemilihan calon pendamping dalam kelompok masyarakatnya sendiri.
            Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa keluarga terdiri atas ayah, ibu dan anak-anak, maka mereka layak disebut juga dengan kelompok manusia. Dari para anggota keluarga yaitu ayah dan ibu terkait pernikahan, sedangkan terikat oleh ikatan darah dengan ayah dan ibunya. Apabila ayah dan ibu mengadopsi anak maka anak itu dianggap sah sebagai anggota keluarga karena terikat oleh ikatan adopsi. Para anggota keluarga ini tentunya memiliki status atau kedudukan masing-masing. Mereka saling bertindak dan berhubungan sesuai dengan peranannya itu.
            Menurut S. Belen (1991) terdapat lima unsur penting yang dapat ditemuukan dalam keluarga ini, yaitu: (1) adanya relasi seks antar pasangan, (2) adanya bentuk pernikahan atau perkawinan yang mengesahkan relasi seksual antara suami dan istri, (3) adanya sistem tatanama, (4) adanya fungsi ekonomi, (5) adanya tempat tinggal bersama.
            Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa timbul dan dibentuknhya berbagai peraturan dan tata tertib yang mengatur pernikahan ini adalah sebenarnya peraturan hubungan seks antara suami-istri itu supaya tidak menimbulkan konflik sosial di masyarakat.
            Keluarga juga merupakan fungsi pendidikan berarti secara bertahap membawa anak ke dalam budaya melalui proses sosialisasi. Proses sosialisasi disrtikan sebagai proses yang harus dilakukan oleh anak-anak dalam memperoleh nilai-nilai dan pengetahuan tentang kelompoknya dan mereka belajar tentang peran sosialnya yang cocok  dengan kedudukan itu. Proses sosialisasi ini tentunya dilakukan secara estafet dari satu generasi ke generasi berikutnya meskipun dalam perjalanannya unsur-unsur kebudayaan mungkin mengalami perubahan.
            Walaupun telah banyak kemajuan dan perubahan dalam fungsi keluarga ini, tetapi fumgsi keluarga tetaplah sama dari waktu ke waktu, yaitu : (1) disemua masyarakat keluarga lebih dipercaya untuk mengemban semua fungsi keluarga seperti yang dijelaskan sebelumnya. (2) jika ada satu atau lebih fungsi keluarga ini dipercayakan kepada badan lain dalam suatu masyarakat, seringkali fungsi perubahan hanya dapat dilakukan dengan dukungan dan semangat ideologi yang disaertai tekanan politik. (3) setelah usai suatu eksperimentasi, percobaan, orang secara perlahan-lahan akan kembali kepada kebiasaan keluarga tradisional (S. Belen, 1991).
-          Tatakrama dalam Keluarga
            Tatakrama sering disebut dengan adat sopan santun, sopan santun pergaulan atau etiket. Etiket ini seringkali dicampuradukan dengan istilah etika merujuk pada arti kesusilaan atau moral sedangkan etika atau tatakraam merujuk pada aturan sopa santun di pergaulan, kebiasaan sopan santun yang disepakati dan diwariskan dalam pergaulan antar manusia setmpat.
            Tatakrama terdiri atas tata dan krama. Tata berarti adat, aturan, norma, peraturan, krama berarti sopan santun, kelakuan, tindakan, perbuatan. Dengan demikian tatakrama adalah adat sopan santun, kebiasaan sopan santun, atau tata sopan santun didalam pergaulan masyarakat.
            Pendidikan tatakrama terhadap anak-anak dalam keluarga akan sangat menentukan kebiasaan dan penerapan tatakrama pergaulan mereka tersebut kemudian dalam kehidupan masyarakatnya. Karena itu, pewarisan tatakrama merupakan proses pewarisan kebudayaan dari generasi ke generasi yang bersifat memaksa melalui proses sosialisasi. Meskipun pewarisan tatakrama bersifat memaksa, namun pada dasarnya tiap tatakrama yang dianjurkan memiliki rasional atau alasan yang kuat demi kebaikan dan ketentraman hidup, tidak hanya bagi pribadi yang bersangkutan tetapi juga bagi masyarakat pada umumnya.
            Menurut S. Belen (1991) bahwa proses belajar kebudayaan yang di mulai dari keluarga dapat dibedakan menjadi 3 jenis yaitu proses internalisasi, proses sosialisasi dan proses inkulturasi. Proses internalisasi adalah proses yang panjang yang dimulai individu lahir sampai ia meninggal. Proses ini adalah proses belajar menanmkan dalam kepribadian individu tentang perasaan, hasrat, nafsu, dan emosi yang diperlukan disepanjang hidupnya.
            Proses sosialisasi adalah proses belajar yang dialami individu sejak masa kanak-kanak hingga masa tuanya. Dalam proses ini, individu belajar pola-pola tindakan dalam i nterakdi dengan berbagai macam individu disekelilingnya yang beraneka-peran sosial yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Dalam berinteraksi itu, tentunya berkembang dari lingkungan yang terdekat menuju atau sampai kearah lingkungan yang kain meluas, dan apa yang di[elajari berkembang dari yang sederhana ke arah yang kompleks. Sementara it proses enkulturasi adalah proses belajar ytang dialami individu sejak kecil sampai masa tuanya. Dalam proses ini individu belajar dan menyesuaikan alam pikiran dan sikapnya dengan adat-adat, sistem norma dan peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaan masyaraktnya. Orang sering menyebut bahwa proses enkulturasi adalah proses pembudayaan.

-          Faktor Keberhasilan dan Kegagalan dalam Pernikahan
            Latar belakang sifat-sifat kepribadian seseorang akhir-akhir ini merupakan faktor-faktor yang menentukan keberhasilan dan kegagalan pernikahan. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan bahwa faktor-faktor keberhasilan dari sifat-sifat wanita diantaranya adalah sikap, murah hati, mampu bekerja sama, dan hemat. Sementara sifat laki-laki yang menunjang keberhasilan pernikahan tersebut  diantaranya adalah kestabilan emosi, mampu bekerja sama, dan konservatif. Sedangkan faktor yang paling menentukan dalam kegagalan pernikahan adalah bahwa seseorang tidak mampu untuk menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi yang baru melalui proses pernikahan ini. Mungkin saja tahapan dalam proses menuju ke jenjang pernikahan tidak dilakui sebelumnya. Lihat paparan tentang tahapan untuk menuju ke jenjang pernikahan pada awal pembahasan kegiatan belajar 1 (satu) ini. Lewis M Terman dalam Sweedlun dan Crawford (1956) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang menentukan keberhasilan pernikahan seseorang adalah (1) kebahagiaan pernikahan orang tua, (2) kebahagiaan dimasa kanak-kanak, (3) tidak sering terjadi konflik dengan ibu, (4) disiplin dalam rumah diwaktu kecil, (5) dekat dengan ibu, (6) dekat dengan ayah, (7) tidak sering terjadi konflik dengan ayah (8) keterusterangan orang tua tentang seks, (9) tidak sering terjadi hukuman dalam rumah diwaktu kecil.

B.   Sistem Kekerabatan dan Garis Keturunan
            Dalam kehidupan bermasyarakat biasanya diatur oleh adat istiadat atau aturan-aturan yang berlaku di masyarakat itu. Salah satu aspek kehhidupan masyarakat yang diatur diantaranya adalah organisasi sosial. Organisasi sosial yang paling dekat dan biasa diterapkan dalam masyarakat kita ini adalah sistem kekerabatan dan garis keturunannya, yang terdiri atas keluarga yang dekat dan kaum kerabat lain.
            Menurut R.M Keesiing dan P.M Keesing (1971) bahwa sistem kekerabata dan garis keturunan merujuk pada keterkaitan darah. Keluarga kita memiliki hubungan darah dengan kita, tetapi keluarga istri tidak memiliki hubungan darah tetapi terikat oleh hubungan perkawinan. Selanjutnya S. Belen (1991) menjelaskan bahwa ada tiga macam sistem kekerabatan yang dikenal dalam masyarakat indonesia, yaitu sistem kekerabatan bilateral, sistem kekerabatan dan garis keturunan patrilineal, serta sistem kekerabatan dan garis keturunan matrilineal.
            Sistem kekerabatan bilateral atau parental ini (kata parens berasal dari kata Latin yang artinya orang tua, ayah dan ibu) hubungan kekerabatan dan garis keturunan seseorang ditentukan berdasarkan atas kekerabatan dan garis keturunan ayah maupun kekerabatandan garis ibu serta kerabat-kerabatnya. Hubungan kekerabatan dan garis keturunan menurut sistem bilateral ini tak dapat diusut terlalu jauh.
            Sedangkan pada sistem kekerabatan dan garis keturunan partilineal (kata pater berasal dari bahasa Latin yang artinya sama ayah dan linea artinya sama dengan garis) hubungan kekerabatan garis keturunan seseorang ditentukan berdasarkan atas kekerabatan dan garis keturunan ayah dan dan kerabat laki-lakinya saja. Dalam sistem patrilineal ini anak laki-laki akan meneruskan garis keturunannya sedangkan anak perempuan merupakan anggota sistem kekerabatan dan garis keturunan ini selama ia belum menikah.
            Sementara itu, sistem kekerabatan dan garis keturunan yang ketiga yang dikenal dan diterapkan pada masyarakat indonesiaadalah sistem kekerabatan dan garis keturunan matrilineal (kata mater berasal dari bahasa Latin yang artinya ibu dan linea jamak artinya sama dengan garis) hubungan kekerabatan dan garis keturunan seseorang ditentukan berdasarkan atas garis keturunan ibu dan kerabat perempuan saja. Dalam sistem ini anak perempuan akan meneruskan garis keturunan dari sistem ini sedangkan anak laki-laki merupakan anggota kekerabatan dan garis keturunan ini selama ia belum menikah.

Pewarisan Harta Benda, Pangkat dan Keturunan
            Pada masyarakat yang menetapkan sistem kekerabatan dan garis keturunan bilateral, patrilineal, atau matrilineal akan membawa konsekuensi tertentu terhadap berbagai hal dalam kehidupan bermasyarakatnya. Menurut William J. Goode dalam S. Belen (1991) fungsi-fungsi kelompok dalam sistem kekerabatan dan garis keturunan adalah antara lain:
·      Berfungsi untuk memberikan perlindungan politik dan keluarga ynag tergolong dalam kelompo ini karena kelompok keturunan dapat mengumpulkan banyak orang.
·      Sebagai bank kolektif dan sebagai pemungut pajak dengan menuntut pada setiap keluarga untuk memberikan sejumlah sumbangan suatu usaha bersama yang diperlukan, misalnya untuk keperluan membiayai upacara perkawinan sampai dengan kegiatan perbersihan baru untuk ladang.
·      Mengatur upacara keagamaan dengan menetapkan beberapa kewajiban misalnya menyediakan penanggungjawab dan pelaksanaan upacara serta memberikan bantuan biaya untuk upacara tersebut.
·      Sebagai penengah pertikaian yang terjadi antar keluarga. Para sesepuh adat dan biasanya menjadi penengah dalam pertikaian itu.
     Cara pewarisan pada berbagai masyarakat atau suku bangsa yang ada di indonesia berlaku prinsip umum yaitu bahwa pewarisan harta benda, pangkat dan keturunan mengikuti sistem kekerabatan dan garis keturunan yang dianutnya.

Pemilihan Tempat Tinggal
            Ada empat cara dalam memilih tempat tinggal bagi pasangan suami-istri yang baru menjalani hidup berumah tangga atau berkeluarga, yaitu partilokal, matrilokal, bilokal dan neolokal.
            Cara memilih tempat tinggal yang menerapkan patrilokal artinya, istri mengikuti untuk pindah dan bertempat tinggal pada keluarga suami.
            Sementara yang disebut matrilokalitas, suami mengikuti pindah dan bertempat timggal pada keluarga istri. Pada masyarakat yang menganut kekerabatan dan garis keturunan matrilineal, cara memilih tempat tinggal aturan matrilokal ini yang diterapkan. Apabila suami tidak pindahdan tidak bertempat tinggal dengan keluarga istri, akan tetapi setidaknya diharapkan pindah dan bertempat tinggal dekat keluarga istri. Cara memilih tempat tinggal seperti ini disebut dengan uxorilokal (kata uxor arti nya sama dengan istri) atau uxorilokalitas.
            Sedangkan cara memilih tempat tinggal bilokal (kata bis artinya sama dengan dua) kata bilokalis, pasangan suami istri yang baru menikah bertempat tinggal pada salah satu keluarganyaentah itu keluarga suami atau keluarga istri. Akan tetapi hanya berlangsung sementara waktu saja, kemudian mereka akan pindah ke tempat tinggal mereka sendiri yang baru,
            Pada cara memilih tempat tinggal yang menerapkan neolokal (kata neo artinya sama dengan baru) atau neokalitas, pasangan suami istri pindah dan menempati tempat tinggalnya sendiri. menurut S. Belen (1991), dalam masyarakat tertentu ada bermacam-macam faktor yang melatarbelakangi cara memilih tempat tinggal mana yang dianut, antara lain:
·      Tempat tinggal sebagian besar menentukan kekerapan interaksi antara satu tali kekeluargaan dengan yang lainnya.
·      Pindah dan bertempat tinggal pada keluarga suami atau keluarga istri di sertai banyak kewajiban dan peran yang baru dan tentu juga beberapa penyesuaian-penyesuaian yang baru.
·      Pemilihan tempat tinggal dipengaruhi pula oleh ekonomi suatu masyarakat. Pada masyarakat yang sebagaian besar tergantung pada pemburuan, menjerat, penebangan kayu, atau penangkapan ikan,  seorang suami berpindah dan bertempat tinggal pada keluarga istri akan banyak membantu ekonomi keluarga itu jika pengalaman dan keterampilannya hanya sesuai dengan pekerjaan yang akan dilakukan.
            Pengaruh istri sangat besar terhadap suami untuk pindah dari tempat tinggal di keluarga suaminya tinggal yang baru (neolokal) karena kalau tidak pindah dari keluarga suaminya, istri mungkin berpendapat bahwa suaminya memberikan lebih banyak perhatian kepada anggota keluarganya yang lain daripada keluarganya. Anak-anak tidak mendapat bagian yang adil dari ayahnya serta penyesuaian istri terhadap terhadap banyak orang yang baru terlalu sulit.
    
    
C. lingkungan Sekolah
            Konsep sistem sosial adalah alat untuk menjelaskan tentang kelompok-kelompok manusia. Tiap-tiap sistem sosial terdiri atas pola-pola perilaku tertentu yang memiliki struktur dalam dua arti, yaitu: pertama, interaksi-interaksi sendiri antara orang-orang yang bersifat agak mantap dan tidak cepat berubah, dan kedua, perilku-perilaku yang mempunyai corak atau bentuk yang relatif mantap.
            Dalam suatu sistem sosial, paling tidak ada harus teredapat empat hal, yaitu: (1) dua orang atau lebih, (2) terjadi interaksi diantara mereka, (3) bertujuan, dan (4) memeiliki struktur, simbol, dan harapan bersama yang dipedomani. Sistem sosial dapat berfungsi apabila dipenuhi empat persyaratan: (1) adaptasi, (2) mencapai tujuan, (3) intregasi, dan (4) pemilihan pola-pola tersembunyi. Sistem sosial terdiri atas satuan-satuan interaksi sosial yang terbentuk daqri unsur-unsur sosial mencakup: (I) keyakinan (pengetahuan), (2)perasaan (sentimen), (3) tujun, sasaran, dan cita-cita, (4) norma, (5) kedudukan peranan (status), (6) tingkat atau pangkat (rank), (7) kekuasaan atau pengaruh (power),  (8)sanksi, (9) sarana atau fasilitas, (10) tekanan ketegangan (Soelaeman, 2005).
            Lingkungan sekolah dalam bahasan ini adalah pendidikan formal karena sebenarnya banyak agen atau  lembaga yang berperan dalm “proses mendidik” seseorang dimsyarakat. Lingkungan sekolah sebagai bagian dari pewarisan budaya tiap generasi ke generasai selanjutnnyanmerupakn agen utama dalm pembeljran keterampilan membaca, menulis, dan berhitung. Sekolah juga berperan untuk membelajarakan pelajaran-pelajaran yang dibutuhkan dalam masyarakat untuk bekal hidup. Supaya menjadi efektif, program-program yang diberikan dalam lingkungan sekolah mesti konsisten dengan sifat alami, kebutuhan, dan kecenderungn-kecenderungan di masa datang. Karena masyarakat setiap saat beubah, lingkungan srkolah juga mengikuti perkembangan dari masyarakatnya (Sweedlun dan Crawford, 1956).
Empat pilar atau fokus pendidikan yang dicanangkan UNESCO (Delors, 1996) apabila diterapkan di lingkungan sekoalh akan membekali seseorang dengan kecakapan hidup yang dibutuhkan sebagai bekal hidup di masyarakatnya. Empat pilar pendidikan itu adalah belajar untuk mengetahui (learning to know). Belajar untuk berbuat (learning to do), belajar untuk menjadi jati diri (learning to be), belajar untuk hidup bermasyarakat dalam damai (learning to live together).
Untuk mencapai empat pilar pendidikan yang disertai kepemilikan bekal life skills yang dibutuhkan seseorang dari hasil perolehan pendidikannya di lingkungan sekolah. Berikut ini adalah bekal yang mesti diberikan lingkungan sekolah supaya menghasilkan generasi baru yang mampu melanjutkan keberlangsungan masyarakat di masa-masa akan datang.
Life skills adalah pengetahuan dan sikap yang diperlukan seseorang untuk bisa hidup bermasyarakat. Life skills yang diperlukan seseorang untuk bisa hidup bermasyarakat diantaranya: lifelong learning, complex thinking, effective communication, collaboration, responsible citizen, dan employability (Utah State Board of Education, 1996).
·         Life skills tentang “lifelong learning” adalah seseorang yang menjadi pembelajar sepanjang hayat yang telah memeperoleh pengetahuan dasar dan telah mengembangkan kecakapan belajar yang mendukung pendiddik berkelanjutan, mendorong peran serta yang efektif dalam masyarakat yang demokratis dan memaksimalkan kesempatan untuk bisa kerja.
·         Life skills tentang “complex thinking” adalah seseorang yang menjadi pemikir kompleks yang telah memeperoleh berbagai kecakapan berpikir dan ia mampu untk menggunakan life skills tersebut dalam situasi problem solving yang berbeda-beda.
·         Life skills tentang “effective communication” adalah seseorang yang menjadi komunikator sosial yang efektif berinteraksi dengan yang lain dengan menggunakan berbagai media seperti membaca, menulis, berbicara, menggambar, bernyanyi, memainkan instrumen, menari, bermain drama, dan memahat.
·         Life skills tentang “collaboration” adalah seseorang yang menjadi kolaborator untuk siap bekerjasama secara efektif dengan orang lain dalm mencapai hasil yang telah ditentukan.
·         Life skills tentang “responsible citizen” adalah seseorang yang menjadi warganegara yang berpartisipasi dalam masyarakat lokal dan dunia untuk mempromosikan kebajikan pribadi dan masyarakat.
·         Life skills tentang “employability” adalah kemampuan sesorang sebelum ia terjun ke masyarakat adalah “employ-ability skills”. Life skills ini diartikan sebagai seseorang dalam bekerja yang sebelumnya dipersiapkan untuk memperoleh dan mempertahankan pekerjaan yang digelutinya dan individu itu mampu meningkatkan kariernya serta mampu mencari pengetahuan dan  latihan tambahan yang diperluka untuk kebutuhan pekerjaannya.



















BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
       Sistem sosial budaya dalam masyarakat merupakan segala adat-istiadat yang biasanya diatur oleh masyarakat itu. Dalam sistem sosial budaya dalam masyarakat terdapat lingkungan keluarga, sistem kekerabatan dan garis keturunan serta lingkungan sekolah. Lingkungan keluarga merupakan wahana untuk memantapkan adat istiadat yang ada dilingkungan masyarakat kita yang mencangkup sistem nilai budaya, sistem norma, dan norma-norma agama. Salah satu aspek kehidupan masyarakat yang diatur diantaranya adalah organisasi sosial.

3.2  Saran
       Berdasarkan uraian materi diatas maka diharapkan melalui makalah ini kita dapat mengetahui sistem sosial budaya dalam masyarakat. Sehingga dalam lingkungan keluarga lebih mengetahui bagaimana membentuk keluarga yang baik, tatakrama dalam keluarga, sistem kekerabatan dan garis keturunan dan lingkungan sekolah. Semoga dengan adanya makalah ini dapat membantu pemahaman kita dalam sistem sosial budaya dalam masyarakat.













DAFTAR PUSTAKA
Rustiati R, Ita. (20014). Diktat Rujukan Perkuliahan Pendidikan Sosial Budaya, Serang
http://chachanomarisu.blogspot.com